TETESAN PUTIH
Sudut kota Jakarta sangat ramai, untuk
berjalan pun sangat sulit dan berdesakan. Apalagi di pusat perbelanjaan seperti di Mall ini.
Banyak orang yang berlalu lalang membawa belanjaan mereka. Meskipun udara cukup
sejuk berada diruangan ber AC, namun tetap saja, jika berdesakan sangat tidak
nyaman dan mengundang banyak kejahatan seperti copet.
Saat ini aku sedang di sibukkan oleh
sesuatu yang menurutku sangat menyenangkan. Meskipun aku lelah, aku selalu di
temani Feri, tanpa komentar dan keluhan apapun ia menuruti kemauan ku, dengan
setelan kemeja biru toska dan jeans senada ia terlihat tampak keren dan
menampakkan bentuk tubuh yang kotak-kotak hasil fittnesnya, tak lupa pula ia
mengenakan kacamata nya yang membuat siapapun tergila gila.
Mataku berfocus lagi pada gaun biru yang
di gantung indah di barisan paling depan. Aku meraihnya dan mengenakannya.
Ketika aku memperlihatkannya kepada Feri, ia sempat melongo nyaris tidak
mengedipkan mata. Ekspresinya berubah dari yang terlihat so cool kini jadi salah tingkah tak karuan.
Lalu ia hanya mengisyaratkan dengan
menganggukkan kepala dan tersenyum. Dan akhirnya aku pun membelinya.
“Jika kamu peka, mungkin gaun itu akan
kamu gunakan pada pernikahan kita, hehe..” gumamnya tampak samar namun aku bisa
mendengarnya tapi herannya dari nada bicaranya terlihat serius.
Feri selalu jadi sahabat sejatiku. Sejak
kecil kami selalu bersama, meskipun ia cukup popular di sekolah namun ia jarang
bergabung dengan teman lainnya, teman laki-lakinya pun hanya beberapa ia lebih
memilih bergabung bersama ku daripada temannya di ekskul Basket. Aku sangat
bangga memiliki sahabat seperti dia, selain tampan dan baik ia juga sangat
perhatian.
Oke sudah cukup, kembali lagi ke
intinya. Kurasa semua sudah sangat lengkap. Mulai dari kado, kue, hingga gaun
yang akan ku kenakan pada pesta ulang tahun pacarku yang ke 17 tahun. Dicky
adalah pacarku, aku baru berpacaran sekitar satu tahunan. Meski baru satu tahun,
kami tak jarang bertengkar dan putus nyambung. Kadang karena sikap Dicky yang
cuek dan agak egois.
Terakhir kali kami bertengkar, karena
dia. Waktu itu Dicky berjanji untuk ngejak nonton ke bioskop bareng, dan berjanji
ketemuan di Taman dekat persimpangan. Namun, 2 jam menanti Dicky belum juga
datang. Ketika aku menelpon nya ia malah berkata lupa. Aku sangat kesal dan
akhirnya kami bertengkar.
Namun Dicky memang pandai merebut
kembali hatiku, ia datang menghampiriku di taman sekolah ketika aku bersama Feri
sambil membawa gitar dan memainkan lagu kesukaanku Payphone. Aku sangat
terkejut, malu sekaligus senang. Dan akhirnya kami pun balikan. Memang kuno.
Tapi romantis.
Berbeda dengan Feri yang begitu sangat
perhatian. Namun sayang aku tidak mempunyai rasa apapun dengan Feri hanya
sebuah persahabatan bisa.
Pesta di rumah Dicky pun berlangsung
sangat seru dan ramai, ia begitu romantis memberiku kue potongan kedua. Aku
berbincang dengannya, sedangkan yang lainya sibuk dengan makanan mereka.
Pesta yang di adakan oleh Dicky memang
terliahat mahal dan berkelas. Dicky memang orang kaya. Tak heran ada pula
undangan dari rekan bisnis papnya yang juga membawa anak-anak mereka kedalam
pesta tersebut.
Tiba-tiba saja papanya Dicky dan seorang
wanita datang menghampiri kami. Papanya memberi selamat kepada Dicky.
“Selamat ya nak, umur kamu sekarang
sudah mulai dewasa “ puji papanya sambil mengelus rambut dan pundaknya
“Iya pa, makasih “ jawabnya dengan
senyum semangat
Aku memperhatiakan wanita yang ada di
sebelahnya. Sepertinya ia hendak melakukan sesuatu kepada Dicky. Benar saja
dugaanku
“Selamat ya, sayang “ ucapnya sambil
mencium pipi kiri kanan Dicky. Sambil tersenyum licik kearaku. Dicky hanya diam
tak berdaya
Aku tak bisa menyembunyikan kekesalanku.
Dan segera pergi. Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu, sambil
menangis sesegukan. Dari arah belakang Feri ikut berlari kearahku dan
menghentikanku.
“Kamu mau kemana? Pesta baru saja
dimulai?” tanyanya sambil bernapas naik turun
Aku masih saja meneteskan air mata “
kamu nangis?. Memangnya ada apa” tanyanya sedikit khawatir. Tangannya mengusap
lembut air mata ku yang membanjiri pipi ku.
Hanya Feri lah tempatku curhatku, jadi
mau tidak mau kuceritkan semuanya, ia terlihat sangat gemas dan garang. Namun
aku menahan emosinya. Dan akhirnya akupun memutuskan untuk pulang saja.
Dalam perjalanan pulang aku sangat
lapar. Karena di pesta tadi aku belum sempat makan, akhirnya Feri mengajakku
membeli jagung bakar. Kami duduk dan makan bersama di pinggiran jalan. Meki
sedih, jika ada Feri di dekatku aku merasa sangat aman.
***
Aku dan Feri duduk dibawah pohon dekat
taman sekolah, senang sekali rasanya memperhatikan anak kecil yang sedang main
sepak bola. Mereka seolah olah tidak mempunyai beban dan bermain lepas tanpa
penat.
Dicky pun datang menghampiriku dan
mengajakku bicara untuk menjelaskan mengenai hal tadi malam. Semula aku
menolaknya namun ia begitu memaksa. Feri terlihat sangat emosi, namun ia tahu
batasan. Dan segera pergi meninggalkan kami berdua
Akhirnya Dicky menjelaskan semuanya. Ia
berkata bahwa yang semalam tadi adalah keponakanya yang tinggal di Singapur,
“Tapi kenapa dia memelukmu?” tanyaku
dengan wajah yang tidak memandangnya
“Kamu kan tahu sendiri, kebiasaan orang
Singapur itu kayak gitu”
Entah mengapa aku ingin selalu memaafkan
Dicky, meski ia tak jarang menyakiti perasaanku.
#
Malamnya, dirumahku aku mengerjakan
tugas bersama Feri. Ia memang sering mengerjakan tugas bersama ku. Setelah
tugas selesai ia tidak seperti biasanya langsung pulang. Ia menanyakan sesuatu,
namun ia terlihat serius
“Din, tadi Dicky ngomong apa sama kamu?”
“Oh, ternyata yang semalam di pesta
Dicky itu adalah keponakanya dari Singapur” ucapku semangat
“Trus kamu percaya? “ aku mengangguk
pasti
Ia bangkit sambil menghentakkan meja “
Kamu gimana sih.. mau aja di bohongin orang kayak gitu !” seketika aku kaget
“Dia itu udah bohongin kamu !” nadanya
meninggi.
“A apa? Aku tidak percaya ini Feri”
batinku
Aku semakin takut, baru kali ini aku
telah membuat Feri marah. Aku sebisa mungkin menjawab “Aku percaya sama dia!” .
Feri terbelalak
“Kamu sendiri kan yang bilang kalau
pacaran itu saling percaya, ya.. aku percaya sama Dicky” ucapku sambil memandang
wajahnya
“Ya, tapi nggak kayak gini Dinda, dia
bukan sekali dua kali menyakiti kamu, dia itu bajingan!! Kamu tau nggak”
amarahnya meluap
“Ti tidak.. ini bukan Feri yang selama
ini aku kenal, ia tak mudah marah, ia begitu perhatian dan ia begitu… “Batinku
menahan sakit
“Diaaam..dia tidak seperti kamu
pikirkan” aku tak bisa sembunyikan emosiku lagi, sudah saatnya aku berontak
Dia
terlihat tertunduk dan berusaha menahan semuanya. Ketika kutangkap wajahnya
meneteskan air mata. Ia mulai berbicara lagi namun kali ini dengan nada yang
rendah
“Din, sebenarnya aku begini itu karena
aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu dan aku ingin kamu berada di sisiku”
ucapnya tulus
“Sejak kapan kamu mulai menyukaiku…”
jawabku lirih tak percaya
“Aku nggak tahu pasti, tapi kebersamaan
kita yang membuat aku yakin”
“Tapi aku masih suka sama Dicky..”
“Dicky itu bajingan Din..” nadanya
meninggi lagi
Entah dorongan dari mana seketika aku menampar pipi Feri yang masih
menyisakan air mata. Ia reflex dan memegang tangan ku. “ Din, aku cinta sama
kamu” jelasnya
“Lepasin tanganku, aku tetap memilih
Dicky, lebih baik kamu pergi meninggalkan ku sekarang.. pergi!!” emosi ku
meluap-luap sudah tak terbendung lagi
“Tapi Din..” ucapnya memohon
“Cepat pergi…” teriakku sekali lagi
Ia tertunduk dan merapikan bukunya
dengan wajah yang sangat tidak enak. Ia berubah sekatika semula kuangggap
sebagai malaikat penolongku, kini menjelma menjadi srigala buas
“Oke, jika itu mau kamu, aku akan pergi.
Dan jangan harap kamu dapat melihat wajahku lagi. Aku akan pergi untuk kamu”
ancamnya
Ia telah pergi tapi..tapi kenapa aku
seperti tidak rela, apa yang membuatku seperti ini, aku tadi yang menyuruhnya
pergi, tapi kenapa perasaan ku memintanya untuk tetap tinggal.
Selepas kepergiannya aku hanya menangisi
semua kejadian tadi, mengapa hubungan persahabatan yang begitu lama, bisa putus
dalam hitungan menit hanya karena
masalah percintaan. Aku takut ucapannya benar-benar terjadi, aku masih
ingin melihat wajahnya.
***
Dicky memang cowok bajingan, ia
tertangkap basah sedang berpacaran di Taman ketika aku melewati taman tersebut.
Ini sudah tidak bisa dimaafkan. Akhirnya aku putus dengan Dicky. Kini tak ada
lagi yang menghiburku ketika sedih, aku sangat kehilangan sosok Feri.
Sejak peristiwa yang mencekam itu aku
benar-benar tidak melihat wajahnya lagi. Ia benar-benar pergi. Ku beranikan
diri untuk bertanya, ternyata ia pindah ke Surabaya. Entah dimana aku bisa
menemukannya,
Yang kubisa hanya menangisi kepergiannya.
Tak kusangka orang yang menghiasai hariku kini telah pergi entah kemana. Tak
ada yang mampu mengisi kekosongan hatiku selain dia. Ini bagaikan palu yang
memukulku kedalam. Sungguh sakit kehilangan orang yang sebenarnya aku sayangi.
Tahun berbilang tahun,,, laki-laki silih
berganti menghiasi hariku, namun semua terasa hambar tanpa Feri disisiku. Aku
jadi teringat perkataan Feri sewaktu di Mall ia berkata ““ Jika kamu peka,
mungkin gaun itu akan kamu gunakan pada pernikahan kita.” aku menangis
sejadi-jadinya mengingat itu
Dari email yang terkirim hari ini Feri
akan datang menemuiku. Aku sangat bersemangat aku mengenakan gaun biru itu,
lagi. Aku menyiapkan kata-kata untuk menerima Feri sebagai pacarku.
Tapi ternyata apa?! Ia datang membawa
undangan pernikahannya dengan Intan. Ia terlihat begitu bahagia. Aku hanya
tercengang mendengar perkataannya. Ia telah jauh beranjak melupakanku.
Sementara aku tak beranjak sedikitpun.
Ketika ia pergi pun aku tak sanggup
membendung air mataku dan menangis sejadi-jadinya, betapa beruntung wanita yang
bersamanya. Andai waktu berulang….
Rintik hujan
menambah suasana hatiku tambah pilu. “Hujan… mengapa ini semua begitu menyesakkan….?”
THE ENDsss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar